Foto: Raden ajeng Kartini Tahun 1903
Memperingati hari kelahiran RA Kartini setiap tanggal 21 April selalu dihiasi dengan seremoni, tanpa benar-benar memahami kisah hidupnya dan apa yang diperjuangkannya dulu.
Raden Ajeng Kartini, atau dikenal dengan Ibu Kartini si pejuang emansipasi wanita ternyata memiliki kisah hidup yang sangat berkesan. RA Kartini lahir ditengah keluarga ningrat. Ayahnya seorang Bupati Jepara, RM Adipati Ario Sosroningrat. Ibunya bernama Ngasirah, putri seorang guru agama yang memiliki latar belakang pesantren.
Rupanya, Ibu Ngasirah bukanlah seorang bangsawan. Karena dahulu peraturan pemerintah Kolonial yang mewajibkan seorang Bupati meenikahi wanita bangsawan, maka ayah RA Kartini menikah lagi dengan RA Muryam yang masih keturunan raja-raja Madura.
Setelah ayahnya menikah lagi, maka RA Muryam yang menjadi garwo padmi (istri utama). RA Kartini pun tak diperbolehkan memanggil sebutan ibu pada ibu kandungnya, RA Kartini wajib memanggil ibu pada RA Muryam dan memanggil ‘Yu’ (sebutan untuk seorang pelayan). Ibu Ngasirah juga wajib memanggil RA Kartini dengan sebutan ‘Ndoro’.
Seperti dilansir dari buku karya Imron Rosyad berjudul RA Kartini, Biografi Singkat 1879-1904 yang terbit pada April 2010, Saat berkumpul, RA Muryam, RA Kartini, dan anak-anak Sosroningrat yang lain duduk di kursi, sedangkan Ngasirah harus duduk di lantai, melayani kebutuhan seluruh anggota keluarga Sosroningrat. RA Kartini merasakan gejolak hebat melihat ibundanya tercinta harus merasakan kepedihan hati seperti itu.
Pada masa itu, memang feodalisme masih sangat kental. Mereka menekan setiap kehidupan perempuan. Dari mulai tak boleh bersekolah, harus dipingit keluarga, menikah dengan orang yang tak dikenal, dan lainnya.
RA Kartini dikenal memang memiliki intelektualitas yang tinggi. Dia sangat cerdas. RA Kartini sempat mendapatkan pendidikan di Europese Lagere School (ELS), sekolah untuk orang-orang Belanda dan orang bangsawan Jawa. RA Kartini juga pandai berbahasa Belanda.
Namun, RA Kartini harus merelakan cita-citanya. setelah lulus dari ELS, RA Kartini yang ingin melanjutkan pendidikan dilarang oleh ayahnya. Saat itu, RA Kartini dipingit selama 4 tahun.
Selama masa pingitan, RA Kartini rajin bertukar surat dengan teman-temannya orang Belanda, seperti suami-istri J.H. Abendanon, Stella Zeehandelaar, Nyonya Cvink Soer, Nyonya Nellie van Kol, Nyonya van Zeggelen, Nyonya HG de Booij-Boissevain, dan lain-lain.
Tulisan-tulisan RA Kartini pun banyak dimuat di majalah De Hollandsche Lelie dan beberapa majalah lain. Tulisannya sangat menginspirasi, oleh karena itu pada tahun 1902, RA Kartini dan Roekmini mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Belanda atas dukungan H.H. van Kol, seorang anggota parlemen Belanda.
Saat cita-cita ingin digenggam olehnya, harapan itu dipupuskan lagi. Pejabat Belanda di Batavia merasa khawatir dengan kemajuan RA Kartini karena dinilai membahayakan kolonialisme Belanda di Indonesia. Akhirnya, dengan berbagai dalihsalah satunya kondisi ayahnya yang sedang sakit, RA Kartini luluh dan mengurungkan niatnya untuk pergi mengejar cita-citanya.
“Kami ini hanya manusia biasa, wanita Jawa dalam tembok tradisi yang kukuh,” tulis RA Kartini dalam surat yang dilayangkan pada Stella Zeehandelaar (sahabat penanya).
Meski tak jadi mengenyam pendidikan di Belanda, tapi RA Kartini berhasil mendirikan sekolah untuk para wanita di Jepara pada Juni 1903. Namun, sungguh mengejutkan, RA Kartini yang baru saja membuat sekolah untuk wanita dilamar oleh salah seorang sahabat ayahnya yang menjabat sebagai Bupati Rembang, Djojo Adiningrat.
Ayah RA Kartini yang sedang sakit keras meminta RA Kartini untuk menerima lamaran sahabatnya itu, karena kecintaannya pada sang ayah, RA Kartini tak kuasa menolak. Meskipun hatinya hancur, akhirnya dirinya menerima lamaran dari Bupati Rembang yang saat itu berstatus duda dengan tujuh anak dan dua istri selir.
“Saya (kini) adalah tunangan Bupati Rembang, seorang duda dengan tujuh anak dan dua istri (selir). Mahkota saya sudah lenyap dari dahi saya. Sekarang saya tidak lebih sedikit pun dari yang lain. Saya seperti ribuan (perempuan) lainnya yang hendak saya tolong, tetapi ternyata jumlahnya hanya saya tambah saja. Aduhai Tuhanku … benarkah ini kehendak-Mu? Ampunilah saya, belas kasihanilah saya. Berilah saya kekuatan untuk menanggung penderitaan saya,” begitulah tulis RA Kartini dengan penuh kepedihan pada sahabatnya, Rosa Abendanon.
RA Kartini dan suaminya.(foto: wikipedia)
Pada 8 November 1903, akhirnya RA Kartini dan Djojo Adiningrat menikah. Sebelumnya, RA Kartini mengajukan beberapa syarat untuk bisa dipersunting duda beranak 7 itu. Diantara syaratnya yaitu ia boleh membuka sekolah di Rembang, dan ia tidak akan mencium kaki suaminya. Pertimbangan lain RA Kartini yaitu Djojo Adiningrat seorang bupati yang terpelajar dan memiliki kekuasaan, yang akan mendukung ia melanjutkan cita-citanya memajukan pendidikan bagi perempuan. Namun, sungguh kisah ini sangat singkat. Pada 17 September 1904, RA Kartini wafat setelah empat hari melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Soesalit atau Raden Mas Sienggih.
(kompas.com)
Raden Mas Sienggih (lahir 13 September 1904), anak RA Kartini dan Raden Adipati Djojoadiningrat.
Kematiannya pun menjadi misteri hingga kini. Banyak yang menduga RA Kartini dibunuh, diracun atau diguna-guna. Pasalnya, setelah melahirkan dokter van Ravensteyn yang memeriksa Kartini mengatakan bahwa keadaan RA Kartini sangat dalam kondisi sehat. Dokter juga memberikan obat dan meminta RA Kartini beristirahat.Setelah ini, RA Kartini mengeluhkan sakit perut yang teramat dahsyat dan meninggal. Para keluarga tak pernah mengusut kematian RA Kartini , mereka menerima kematian RA Kartini sebagai salah satu kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
(kompas.com)
0 komentar:
Post a Comment