Kami berteduh dan saya memesan kopi

Akupun sekedar bertanya dalam hati, disana ada huru-hara apa sehingga orang-orang kelihatan begitu panik. Lalu akupun dibonceng dengan motor buntut dan ketika dikendarai ban-nya seperti mau meletus. Bunyinya macam campuran bunyi mesin tua, seperti bunyi orang batuk kering, dan tawa kuntilanak. Duh hal ini menjadikanku semakin penasaran. Sampai di pasar, aku terkejut melihat mobil-mobil pick-up yang biasa membawa sayur, parkir di pinggir jalan.

Padahal, biasanya mereka sejak subuh berjualan ikan dan sayur ke desa-desa.  Aku masuk ke dalam pasar. Kulihat banyak orang duduk di pelataran stanplat emper-emper toko. Ada diantara Mereka adalah para pedagang kaki lima, para pedagang kecil buah-buahan, penjaja kue baskom, penjual sirih dan gambir, pedagang bumbu dapur, beras, sayur, dan ikan.

Ternyata ada kebakaran di salah satu kios yang ada di pasar. Wah, kebakaran kecil yang merembet menjadi besar dan melahap kios-kios sekitar, bunyi raungan pemadam kebakaran pun memulai aksinya dengan memadamkan api, dan setelah beberapa jam apinya ditaklukkan juga. dan kamipun bergegas pulang.

ADUH, minta ampun udiknya anak ini. Mau pulang aja harus melewati tiga macam jalan.  Mulanya aspal, terus batu merah, lalu jalan pasir yang meliuk-liuk sesuka hatinya seperti ular piton. Tempat itu adalah ujung dari ujung kampung.

Dan pagi itu pun masih tersisa dinginya di kampung nenekku. Dalam perjalanan pulang tiba-tiba langit menghitam, menandakan seakan hujan akan segera turun, bahkan gerimis mengiringi kami pulang dari pasar. Lokasinya tak jauh. Orang-orang pun mencari-cari tempat berteduh begitu juga kami, untuk berlindung dari hujan yang begitu derasnya.

Ada warung kecil, disitu kami berteduh dan saya memesan kopi untuk menghangatkan tubuh. Rasanya senang sekali ngopi bareng dengan bapak-bapak yang akan berangkat ke sawah.