Perjalanan seorang diri tentu adalah pilihan. Meski jumlahnya
masih kecil, trennya cenderung meningkat. Dan tak menutup kemungkinan akan
terus meningkat di masa depan, terutama dari kawasan Asia Pasifik.
"Aku tak tahu kenapa, kalau aku merencanakan rute
perjalananku terlalu berhati-hati, jadinya malah ambyar. Sedangkan
kalau aku enteng saja jalan tanpa banyak mikir, aku malah sampai tanpa
masalah."
Si tua John Steinbeck sedang bingung. Tapi ini bukan yang pertama. Pada mulanya dia kalut. Apakah harus dia menjalani perjalanan yang tampaknya tak bakal nyaman ini. Dia sudah berumur setengah abad lewat satu windu. Tenaga tak lagi prima. Anak tertuanya, bertahun-tahun setelah sang ayah mangkat, bilang kalau Steinbenck sedang sekarat dan perjalanan terakhir yang ingin dilakukannya adalah melihat Amerika Serikat untuk yang terakhir kali. Tanah yang amat dia cintai sekaligus dia benci.
Tapi dasar kepala batu. Setelah badai hampir mengoyak rumah peristirahatannya di tepi danau, Steinbenck membulatkan tekad. Dia mengemas semua perlengkapan ke dalam camper yang dinamai Rocinante, kuda yang menemani Don Quixote. Namun dia tak mau dikoyak sepi sendirian. Maka dia mengajak satu kawan perjalanan. Bukan seorang, tapi seekor anjing pudel Prancis bernama Charley.
Keputusan Steinbeck mutlak benar. Charley tak rewel. Tak cerewet layaknya manusia. Tak ngomel kalau kelaparan. Tak protes meski mandi tanpa shower dan air panas. Juga tak mutung kalau kesasar dan ada aral di jalan. Charley juga pasrah saja ikut rute yang diambil kawannya, si Steinbeck. Entah itu berujung pada destinasi yang dituju, atau nyasar ke hektaran kebun kentang yang ditanami oleh para Canucks --bahasa slang untuk menyebut para petani Kanada.
Menurut Steinbeck, Charley sering lebih cakap ketimbang kebanyakan manusia. "Charley itu anjing yang unik. Hidupnya tidak mengandalkan taring dan otot belaka. Dia menghargai hak-hak kucing, meski sama sekali tak menyukai mereka. Ketakutan terbesarnya adalah seseorang menyuruhnya berburu kelinci. Charley adalah anjing penuh ketenangan dan kedamaian," kata Steinbeck.
Meski tampaknya perjalanan ala Steinbeck ini menyenangkan, perjalanan seorang diri itu bukanlah kegiatan yang wajar pada masa itu. Perjalanan seorang diri lekat dengan citra perjalanan ala pertapa dan pengembara: perlu nyali besar, modal nekat, tahan kesepian, dan wajib punya ketahanan dobel menghadapi penderitaan sepanjang jalan.
Ghalibnya, orang lebih suka berjalan bergerombol. Jalan beramai-ramai menjanjikan kemapanan. Pasti ada kawan ngobrol. Biaya perjalanan pun bisa lebih murah. Di tengah jalan, Steinbeck bertemu dengan para petani kentang dari Kanada yang kerja di Amerika. Lagi-lagi mereka bergerombol.
"Mereka melanglangbuana dan berkemah dalam kelompok besar, keluarga, sanak saudara, bahkan kayaknya satu suku: lelaki, perempuan, anak laki, anak perempuan, dan anak kecil juga," tulis Steinbeck.
Perjalanan beramai-ramai memang salah satu bentuk paling purba dalam industri pariwisata. Istilahnya adalah mass tourism. Pariwisata massal. Karakteristiknya adalah: para wisatawannya datang beramai-ramai, ke suatu tempat yang populer. Biasanya mereka berkelompok. Seperti kata Steinbeck. Bisa kelompok teman, keluarga, tetangga RT/RW, sampai satu suku. Budaya ini kemudian juga melahirkan biro perjalanan yang menawarkan berbagai paket wisata.
Tapi pariwisata massal ini kemudian melahirkan kejenuhan. Lahirlah bentuk tandingan. Aulia Poon dalam jurnal berjudul The "New Tourism" Revolution, menyebut tandingan ini sebagai gerakan pariwisata baru. New tourism. Salah satu cirinya adalah hadirnya internet dalam pemasaran. Selain itu mayoritasnya adalah wisatawan berusia muda. Para pejalan berusia muda ini enggan mengikuti para pendahulunya. Dengan dibantu internet, mereka memesan tiket perjalanan sendiri. Merancang perjalanannya sendiri. Internet pula yang membuat dunia seperti dilipat: tak ada jarak. Rasa aman bisa hadir karena internet. Kita dengan mudah bisa menghubungi sanak keluarga, teman, bahkan polisi. Membuat pelancong makin tak lagi takut berjalan sendirian.
Si tua John Steinbeck sedang bingung. Tapi ini bukan yang pertama. Pada mulanya dia kalut. Apakah harus dia menjalani perjalanan yang tampaknya tak bakal nyaman ini. Dia sudah berumur setengah abad lewat satu windu. Tenaga tak lagi prima. Anak tertuanya, bertahun-tahun setelah sang ayah mangkat, bilang kalau Steinbenck sedang sekarat dan perjalanan terakhir yang ingin dilakukannya adalah melihat Amerika Serikat untuk yang terakhir kali. Tanah yang amat dia cintai sekaligus dia benci.
Tapi dasar kepala batu. Setelah badai hampir mengoyak rumah peristirahatannya di tepi danau, Steinbenck membulatkan tekad. Dia mengemas semua perlengkapan ke dalam camper yang dinamai Rocinante, kuda yang menemani Don Quixote. Namun dia tak mau dikoyak sepi sendirian. Maka dia mengajak satu kawan perjalanan. Bukan seorang, tapi seekor anjing pudel Prancis bernama Charley.
Keputusan Steinbeck mutlak benar. Charley tak rewel. Tak cerewet layaknya manusia. Tak ngomel kalau kelaparan. Tak protes meski mandi tanpa shower dan air panas. Juga tak mutung kalau kesasar dan ada aral di jalan. Charley juga pasrah saja ikut rute yang diambil kawannya, si Steinbeck. Entah itu berujung pada destinasi yang dituju, atau nyasar ke hektaran kebun kentang yang ditanami oleh para Canucks --bahasa slang untuk menyebut para petani Kanada.
Menurut Steinbeck, Charley sering lebih cakap ketimbang kebanyakan manusia. "Charley itu anjing yang unik. Hidupnya tidak mengandalkan taring dan otot belaka. Dia menghargai hak-hak kucing, meski sama sekali tak menyukai mereka. Ketakutan terbesarnya adalah seseorang menyuruhnya berburu kelinci. Charley adalah anjing penuh ketenangan dan kedamaian," kata Steinbeck.
Meski tampaknya perjalanan ala Steinbeck ini menyenangkan, perjalanan seorang diri itu bukanlah kegiatan yang wajar pada masa itu. Perjalanan seorang diri lekat dengan citra perjalanan ala pertapa dan pengembara: perlu nyali besar, modal nekat, tahan kesepian, dan wajib punya ketahanan dobel menghadapi penderitaan sepanjang jalan.
Ghalibnya, orang lebih suka berjalan bergerombol. Jalan beramai-ramai menjanjikan kemapanan. Pasti ada kawan ngobrol. Biaya perjalanan pun bisa lebih murah. Di tengah jalan, Steinbeck bertemu dengan para petani kentang dari Kanada yang kerja di Amerika. Lagi-lagi mereka bergerombol.
"Mereka melanglangbuana dan berkemah dalam kelompok besar, keluarga, sanak saudara, bahkan kayaknya satu suku: lelaki, perempuan, anak laki, anak perempuan, dan anak kecil juga," tulis Steinbeck.
Perjalanan beramai-ramai memang salah satu bentuk paling purba dalam industri pariwisata. Istilahnya adalah mass tourism. Pariwisata massal. Karakteristiknya adalah: para wisatawannya datang beramai-ramai, ke suatu tempat yang populer. Biasanya mereka berkelompok. Seperti kata Steinbeck. Bisa kelompok teman, keluarga, tetangga RT/RW, sampai satu suku. Budaya ini kemudian juga melahirkan biro perjalanan yang menawarkan berbagai paket wisata.
Tapi pariwisata massal ini kemudian melahirkan kejenuhan. Lahirlah bentuk tandingan. Aulia Poon dalam jurnal berjudul The "New Tourism" Revolution, menyebut tandingan ini sebagai gerakan pariwisata baru. New tourism. Salah satu cirinya adalah hadirnya internet dalam pemasaran. Selain itu mayoritasnya adalah wisatawan berusia muda. Para pejalan berusia muda ini enggan mengikuti para pendahulunya. Dengan dibantu internet, mereka memesan tiket perjalanan sendiri. Merancang perjalanannya sendiri. Internet pula yang membuat dunia seperti dilipat: tak ada jarak. Rasa aman bisa hadir karena internet. Kita dengan mudah bisa menghubungi sanak keluarga, teman, bahkan polisi. Membuat pelancong makin tak lagi takut berjalan sendirian.
Bisa jadi karena
mereka, para pejalan solo itu punya banyak waktu yang cukup untuk merenung.
Menjalani intisari kehidupan. "Oh tentu saja cakrawala berpikirnya
terbatas. Tapi memangnya seberapa luas cakrawala berpikirku, sih?"
0 komentar:
Post a Comment