Blog ini adalah catatan pelajar yang menyukai traveler

Sunday, September 4, 2016

Belajar dari sang visioner

Malam ini saya baru menonton film ini, tapi bukan di bioskop seperti tahun 2012 silam, tepatnya tanggal 28 desember, kala itu saya menonton berempat dgn sahabat saya dan yang satu lagi dengan dia. hmmm rasanya ada yang kurang, tapi tak apalah, toh disini saya ditemani secangkir kopi yang menghangatkan malam ini

Dari segi setting sejarah, Rudy Habibie tergarap baik, mulai dari masa pendudukan Jepang di Pare-pare dan Gorontalo, lengkap dengan adat istiadat sunatan hingga gaya hidup anak muda di Aachen, Jerman Barat pada 1950-an, termasuk koreografi dansanya, termasuk juga surat kabar masa itu.
Mata air selalu muncul di tanah yang bergejolak
Front Nasional itu isu 1959, jadi konflik dalam tubuh PPI Jerman Barat antara kubu Aachen dan Hamburg punya akarnya. Bagi saya ini film pertama Indonesia mengungkapkan kehidupan mahasiswa Indonesia pada 1950-an. Satu adegan yang menjadi catatan saya, yaitu ketika Rancangan Habibie diambil paksa aparat pemerintah Jerman Barat karena Indonesia bukan anggota NATO latar belakang perang dingin  merupakan hal yang baru saya ketahui.  

Nasionalisme Habibie diuji di sini, ketika ia ditawarkan paspor Jerman alias pindah kewarganegaraan. Artinya Jerman Barat di satu sisi mengakui kejeniusan seorang Habibie sementara negerinya sendiri masih memperdebatkan visi dan mimpinya.

Hanya saja saya mengingatkan bahwa nama Institut Teknologi Bandung baru muncul pada 1959, sementara pada 1955 namanya Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Kalau dialog antara Liem Kie King dan Rudy terjadi pada 1955 bahwa Habibie sempat kuliah di ITB  merupakan keteledoran.  
Rudy Habibie lahirpada 1936. Antara 1955 hingga 1965 Rudy menjadi mahasiswa di Jerman. Pada 1962 Rudy menikah dengan Hasri Ainun Besari. Keberadaan Ainun hanya disinggung dalam satu adegan di rumah Habibie.

Jadi Rudy Habibie ini berkisar antara tahun 1955-1960-an tahun-tahun pernuh pergolakan. Soal elite politik yang mementingkan partainya disinggung dalam dialog. Begitu juga kehidupan sulit di Indonesia, digambarkan dalam sebuah adegan ibunya Habibie tidak bisa membeli daging. Saya suka ada setting Toko Delima Jalan Dipati Ukur Bandung pas dengan suasana masa 1950-an. Karakter Habibie dalam berapa percakapan banyak menggunakan kata faktanya, masalahnya dan solusinya bukan saja dalam presentasi di depan para dosennya, tetapi juga dalam interaksinya dengan kawan-kawannya.

Bagamana Habibie mendapat inspirasi dari makanan karena saran Ilona adalah hal menarik lain dalam film ini. Hanya saja konflik Habibie dengan gengnya Pantja harusnya bisa digarap lebih dalam. Catatan lain saya memang ada sisi manusiawi, seperti Habibie merasakan kelaparan karena wesel dari ibunya lupa dikirim, Habibie jatuh sakit, Habibie dan temannya mahasiwa Turki salat di bawah tangga perpustakaan menjadi tontonan mahasiswa bule menarik, namun keseluruhan tetap saja tokoh Habibie dalam film ini terlalu sempurna dan menjadi kebenaran. Selain itu falasafah mata air kerap berulang seperti menggurui, walau mungkin pesan moral film ini.

Saya juga tertarik pada karakter mahasiswa yang ada di sekitar Habibie dan bagaimana kiprah selanjutnya. Dari media bisa diketahui Liem King Kie tetap tinggal di luar negeri karena perubahan politik pada 1965 membuatnya sulit pulang merupakan tokoh nyata.

0 komentar:

 

Blog Archive

Translate

BLOG INI DILINDUNGI DMCA